Teman
seperjuangan satu ruangan.
Polos,
pendiam dan pintar. Itulah kesan pertama yang saya dapat darinya setelah ia
berhasil dengan baik menjawab pertanyaan yang diberikan Bu Leyla, guru
matematika kami saat SMA. Tapi, beberapa bulan setelah itu, saya menyadari
bahwa kesan pertama saya tidak sepenuhnya benar. Bahwa hanya P ketiga yang
tidak keliru.
Sang juara satu.
Mejanya
selalu kami penuhi setiap hari sebelum ada ujian, setiap pagi bila ada pr yang
tidak bisa kami kerjakan. Lalu ia dengan sabar dan “sabar” (baca: sabar dalam
tanda kutip) mengajari kami sampai mengerti. Tidak pernah ada niat untuk
menggurui, tapi ia ikhlas hanya untuk berbagi. Itu adalah satu dari beberapa
point khusus yang saya banggakan dari dia. Dia tidak segan berbagi ilmu kepada
siapa saja dan kapan saja, kecuali saat ujian berlangsung. Tapi sikapnya itu
kemudian membuat hujatan berdatangan dari belakangnya. “Dasar pelit, satu nomor ajo dak galak ngasih”. Padahal, sikap itu
tidak salah, yang salah hanyalah cara orang lain menanggapinya. Bukan hanya
itu, hujatan lain lalu datang setelah ia meraih juara satu untuk kesekian
kalinya dan menjuarai berbagai lomba diluar sekolah. “Ah, palingan jugo nyo dapat juaro gara-gara dekek kek guru”. ES HA I TE! Hanya orang sok tahu yang
berkomentar negatif tanpa mau tahu keadaan sebenarnya. Tetapi yang ini, mungkin
bukan hanya sok tahu, tetapi juga dengki.
Kampus tiga huruf.
Dibalik
komentar tidak penting tentang dirinya, ia selalu punya orang-orang dibelakangnya
yang mendorongnya untuk semakin maju kedepan. Satu diantara orang-orang itu
adalah ibunya. Wanita yang sewaktu SMA tinggal jauh darinya, yang saya ingat,
ia pernah memberikan baju saat hari ibu. Baju itu ia beli dengan uang hasil
jerih payahnya sendiri. Mungkin tidak begitu mahal jika dihitung dengan materi,
tetapi, rasa sayangnya yang meluap-luap tidak pernah dapat dibandingkan dengan
barang semahal apapun. Sekarang, di kampus tiga huruf terkemuka di Jogja, ia
tengah berada dalam proses untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia layak
menjadi orang paling kaya karena kecerdasan dan mimpinya yang terpatri kuat
dihatinya.
Mocha
float.
Ya,
mocha float. Minuman dingin dalam gelas saji plastik bening yang dibeli di satu
tempat makan cepat saji itu selalu menjadi favoritnya sewaktu SMA. Terakhir,
saat liburan kuliah sekitar sebulan yang lalu, ia pulang ke Bengkulu. Ia
mengajak saya dan beberapa teman kami untuk bertemu. Sayangnya waktu itu saya
tidak diberi kesempatan untuk hadir oleh nasib karena jadwal kuliah yang padat.
Tapi, dari akun instagram seorang teman yang waktu itu bertemu dengannya, saya
tahu bahwa mereka pergi ke tempat makan cepat saji itu. Tapi apakah ia masih
memesan mocha float saat itu? saya tidak tahu.
Yang
saya tahu, saya mengangumi cara-caranya dalam menggapai mimpi. Saya mengagumi tulisan-tulisannya baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris yang
kadang saya kurang mengerti. Saya mengagumi setiap ia menyampaikan
laporan-laporannya kepada saya tentang film, lagu atau orang-orang yang mungkin
akan saya sukai.
Maaf,
telah lancang membuat tulisan ini.
Ttd.
Teman
seperkepoan :)))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar