Minggu, 15 September 2013

Teman Seperkepoan.



Teman seperjuangan satu ruangan.
Polos, pendiam dan pintar. Itulah kesan pertama yang saya dapat darinya setelah ia berhasil dengan baik menjawab pertanyaan yang diberikan Bu Leyla, guru matematika kami saat SMA. Tapi, beberapa bulan setelah itu, saya menyadari bahwa kesan pertama saya tidak sepenuhnya benar. Bahwa hanya P ketiga yang tidak keliru.


Sang juara satu.
Mejanya selalu kami penuhi setiap hari sebelum ada ujian, setiap pagi bila ada pr yang tidak bisa kami kerjakan. Lalu ia dengan sabar dan “sabar” (baca: sabar dalam tanda kutip) mengajari kami sampai mengerti. Tidak pernah ada niat untuk menggurui, tapi ia ikhlas hanya untuk berbagi. Itu adalah satu dari beberapa point khusus yang saya banggakan dari dia. Dia tidak segan berbagi ilmu kepada siapa saja dan kapan saja, kecuali saat ujian berlangsung. Tapi sikapnya itu kemudian membuat hujatan berdatangan dari belakangnya. “Dasar pelit, satu nomor ajo dak galak ngasih”. Padahal, sikap itu tidak salah, yang salah hanyalah cara orang lain menanggapinya. Bukan hanya itu, hujatan lain lalu datang setelah ia meraih juara satu untuk kesekian kalinya dan menjuarai berbagai lomba diluar sekolah. “Ah, palingan jugo nyo dapat juaro gara-gara dekek kek guru”.  ES HA I TE! Hanya orang sok tahu yang berkomentar negatif tanpa mau tahu keadaan sebenarnya. Tetapi yang ini, mungkin bukan hanya sok tahu, tetapi juga dengki.

Kampus tiga huruf.
Dibalik komentar tidak penting tentang dirinya, ia selalu punya orang-orang dibelakangnya yang mendorongnya untuk semakin maju kedepan. Satu diantara orang-orang itu adalah ibunya. Wanita yang sewaktu SMA tinggal jauh darinya, yang saya ingat, ia pernah memberikan baju saat hari ibu. Baju itu ia beli dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Mungkin tidak begitu mahal jika dihitung dengan materi, tetapi, rasa sayangnya yang meluap-luap tidak pernah dapat dibandingkan dengan barang semahal apapun. Sekarang, di kampus tiga huruf terkemuka di Jogja, ia tengah berada dalam proses untuk membuktikan kepada dunia bahwa ia layak menjadi orang paling kaya karena kecerdasan dan mimpinya yang terpatri kuat dihatinya.

Mocha float.
Ya, mocha float. Minuman dingin dalam gelas saji plastik bening yang dibeli di satu tempat makan cepat saji itu selalu menjadi favoritnya sewaktu SMA. Terakhir, saat liburan kuliah sekitar sebulan yang lalu, ia pulang ke Bengkulu. Ia mengajak saya dan beberapa teman kami untuk bertemu. Sayangnya waktu itu saya tidak diberi kesempatan untuk hadir oleh nasib karena jadwal kuliah yang padat. Tapi, dari akun instagram seorang teman yang waktu itu bertemu dengannya, saya tahu bahwa mereka pergi ke tempat makan cepat saji itu. Tapi apakah ia masih memesan mocha float saat itu? saya tidak tahu.
Yang saya tahu, saya mengangumi cara-caranya dalam menggapai mimpi. Saya mengagumi tulisan-tulisannya baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris yang kadang saya kurang mengerti. Saya mengagumi setiap ia menyampaikan laporan-laporannya kepada saya tentang film, lagu atau orang-orang yang mungkin akan saya sukai.

Maaf, telah lancang membuat tulisan ini.


Ttd.


Teman seperkepoan :)))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar